(Cerpen Femina) Kembang Pulang, Cerpen Anggun Prameswari

Kalau ada yang bertanya mana yang lebih dingin, udara malam ini atau hawa hatinya, Ros dengan mantap akan meraba dadanya. Seperti ada gunung es tumbuh di sana. Pukul tiga pagi baru saja genap dan Yu Jum terkantuk-kantuk di meja kasir. Pendar papan iklan bir berneon merah-hijau di beranda wisma, berkedip-kedip. Bukan sejenis centil, melainkan tengah meregang kelip terakhir sebelum benar-benar padam. Tamu kelimanya di hari ini baru saja pulang dengan langkah terseok, setengah mabuk. Ros sudah melupakan wajah tamunya itu. Dalam ingatannya, lelaki selalu tak lebih dari sosok tak berwajah.

Termasuk wajah lelaki itu. Lelaki yang seharusnya dihukum karena telah mendinginkan dada Ros. Lelaki yang berdasarkan cerita-cerita di masa kecilnya, suka sekali pada rumpun kembang ros yang berayun-ayun di bawah jendela kamar tidur ibunya. Lelaki itulah cinta pertamanya, jauh bahkan sebelum mereka bertemu.
Masih nunggu tamu, Ros? Yu Jum menaikkan ritsleting jaketnya tinggi-tinggi. Kejar setoran ya. Jangan lupa, sisakan buat yang lain.

Ros tak menggubris. Matanya menatap neon box itu. Sebuah merek bir yang sering berbuih-buih memenuhi gelas tamunya. Suaranya terdengar berderak-derak nyaris padam. Angin menjelang fajar  makin kejam. Jalanan di depan pintu wisma mulai sepi. Denting penggorengan tukang tahu tek beradu dengan sayup musik dangdut. Bahkan di masa seharusnya dunia terlelap, kehidupan masih berdenyut. Kalau hatinya sudah sedingin ini, biasanya Ros berlari ke pinggir jalan. Ditatapnya ujung jalan sejauh mata bisa menangkap. Ada harap yang menggelembung, kalau-kalau lelaki itu pulang.
Ros menggosok-gosok lengan rampingnya yang tak tertutup apa pun. Ingatan pertama yang ia miliki tentang pulang adalah tidak pulangnya lelaki itu. Tak terhitung berapa kali ia bertanya pada ibu, kapan lelaki itu pulang. Ros kecil jengah, di sekolah berulang-ulang dikatai tidak punya ayah.

Kapan Ayah pulang, Bu?
Ke mana Ayah?
Kenapa Ayah pergi jalan-jalan tidak mengajak kita?
Ayo, kita jemput saja Ayah di stasiun.
Kalau Ayah pulang, oleh-oleh apa yang Ayah bawa?
Ros lupa betapa cerewetnya dia di kala kecil dulu. Kata orang-orang dulu, bibir Ros serupa butir anggur ranum, menggemaskan. Kata orang-orang kini, bibir Ros lebih pantas disebut berpulas anggur merah, memabukkan. Setidaknya begitu kata Yu Jum, yang dikutip dari para tamu selepas mereka keluar wisma. Bibir itu Ros warisi dari Ibu, yang sepanjang ingatannya pula, tak pernah ia dapati bibir itu banyak berbicara.

Ayahnya tak pernah pulang. Tak sekali pun Ros tahu apakah ayahnya kurus atau tambun. Berkumis atau berjenggot. Beraroma kretek atau wangi parfum murahan. Yang ia tahu, Ayah pergi. Ya, sebanyak itulah Ibu bercerita. Kadang-kadang, Ros berharap Ibu sama cerewetnya seperti Yu Jum, yang selalu riuh mengurusi hidup orang-orang. Mungkin kini ia takkan meraba-raba sosok ayahnya dalam lelaki-lelaki yang berganti-ganti lebih cepat dari guguran daun meranggas.
Minggu depan wisma tutup, Ros, Yu Jum menyalakan rokoknya. Dapat uang kamu nanti. Tiga juta.

Derak tembakau di kiri Ros beradu dengan pendar neon box yang menyedihkan. Yu Jum ikut-ikutan menatap ke arah yang sama.
Apa rencanamu, Ros?
Mau pulang, Yu.
Pulang ke mana? Memangnya kamu punya rumah untuk pulang?
Ros memilih diam.
Gang ini mau disapu, Ros. Biar bersih, katanya. Memangnya kita sampah ya, Ros? Padahal jelas-jelas mereka menyebut kita perempuan harapan. Katanya kita ini masih punya harapan untuk hidup lebih baik. Hidup yang ditukar dengan uang tiga juta, asap embusan rokok Yu Jum melayang-layang lebih jauh. Mata Ros mengikutinya. Kasihan papi-papimu nanti, Ros. Pasti mereka kangen kamu.

Ros setengah mendengus. Sudah berapa lelaki yang ia senangkan, tapi tak sebanding untuk menambal lubang di dadanya. Ia tak pernah merasakan bersenang-senang bersama ayahnya. Bermain ayunan bersama. Diantarkan ke sekolah. Ditepuk-tepuk kepalanya. Diselimuti saat ia demam. Dimarahi ketika pulang pacaran terlalu malam. Kehilangan demi kehilangan telah meredupkan api kehidupan di dadanya.

Dadanya yang dingin itu kembali berusaha ia hangatkan dalam sekian banyak pelukan yang Yu Jum panggil papi-papi itu. Ya, Ros lebih suka tamu lelaki yang lebih tua, yang sebenarnya lebih pantas ia sebut ayah. Seluruh penghuni wisma maklum itu. Oleh karena itu, mereka selalu menyodorkan lelaki setengah baya ke pangkuan Ros untuk disenangkan, berharap Ros juga bisa menyenangkan hatinya sendiri.
Tiap kali ada lelaki masuk ke wisma, melewati pintu yang dinaungi neon box bir itu, harap di dadanya menyerupai balon. Mengembang besar. Ayah pulang. Ayah mencarinya, sang anak yang hilang. Namun, Ros belajar sejak lama tentang bagaimana lelaki menatap dirinya. Mereka yang datang tak pernah menatapnya penuh rindu, sebagaimana dirinya merindukan ayahnya. Mereka menganggapnya hanya seperti kembang, untuk dihirup wanginya, untuk menghias sepinya, lalu ditinggalkan bila waktunya tiba.

Maka dingin di dadanya menjadi-jadi. Ros seperti tinggal menunggu hari di mana hatinya benar-benar mati. Persis wisma ini. Mirip neon box itu.
Aku sebenarnya pengin ketemu Ayah, Yu.
Memangnya kamu tahu ayahmu tinggal di mana? Ibumu saja tidak tahu.
Tapi aku mau pulang.
Pulang ke mana? Kamu lahir di sini, besar di sini, cari makan pun di sini. Gang ini boleh disapu, Ros, tapi ini kampungmu. Ibumu dulu kembang di sini. Sekarang kamu juga. Buat kita-kita, inilah rumah. Tapi, tidak begitu buat ayahmu. Lelaki itu bahkan sudah pergi sebelum ibumu tahu dirinya hamil.
Mungkin kalau Ayah tahu, Ayah akan tetap tinggal.
Ros sadar nada bicaranya bergetar, penanda betapa tidak mungkinnya itu.
Kalau ketemu ayahmu, kamu mau bilang apa ke dia, Ros?
Jujur, ada skenario panjang yang terekam di kepalanya, kalau memang benar ia akan bertemu ayahnya. Pertama, ia akan marah. Murka sebesar-besarnya. Bagaimana bisa ayahnya sekejam itu, meninggalkan anak perempuannya seorang diri di dunia, tanpa membekali sedikit pun pengetahuan tentang hidup. Bagaimana caranya naik sepeda. Bagaimana mengerjakan PR matematika. Bagaimana menghadapi teman sekolah yang mulai centil. Bagaimana membedakan laki-laki yang benar-benar baik dari sekian banyak lelaki yang tampak baik.

Lalu ia akan menangis. Air matanya akan berjatuhan persis hujan bulan Desember. Segala momen yang hilang akan ia tangisi sepenuh jiwa. Dengan segenap kesedihan yang ia punya. Bukankah lelaki lemah pada air mata wanita? Maka ayahnya akan  makin sedih hatinya, lalu memeluknya. Maka, gunung es di dadanya akan pelan mencair, sehingga air matanya menjadi air bah yang menenggelamkan mereka berdua.
Selanjutnya, Ros akan bercerita. Tentang luka di lututnya yang pertama karena terjatuh saat belajar sepeda sendiri. Tentang pacar pertama yang diam-diam menciumnya di atas becak selepas nonton dangdut di kampung sebelah. Tentang Ibu yang tak pernah berhenti menangis tiap tengah malam. Tentang sulitnya hidup seorang perempuan mencari nafkah seorang diri. Tentang lembar rupiah yang cepat menguap entah menjadi apa. Tentang tamu pertama yang menaiki tubuhnya, dengan dengus napas seperti kerbau mengamuk, tapi tak juga Ros bisa ingat seperti apa wajahnya. Tentang dingin di dadanya, yang tak bisa dihangatkan oleh lelaki yang silih berganti menghangatkan ranjangnya di wisma.
Sampai tiba akhirnya Ros memaafkannya. Tak lagi ia akan marah dan sedih pada Ayah, asal pertemuan itu benar-benar ada. Karena Ros mencintai ayahnya. Bukankah cinta pertama seorang perempuan adalah pada ayahnya, dan cinta pertama itu takkan mati. Maka, mereka berdua akan hidup tenang berdampingan, menebus masa-masa yang hilang.
Kalau wisma ini tutup, kita bagaimana, ya, Ros?
Ya, pindah. Mungkin Yu bisa pulang ke kampung, buka warung atau apa. Bisa dekat anak dan orang tua.

Ngomongmu sudah seperti wali kota saja.
Aku sudah menghafalnya. Terlalu sering kulihat di televisi.
Ros membalikkan badan. Tubuhnya mendadak begitu lelah. Sendi-sendinya mulai berlepasan, entah karena tamu terakhir membolak-balik tubuhnya seperti adonan panekuk setengah matang atau karena tak ada lagi tenaga untuk berpikir. Derak neon box itu kini lebih cepat, tapi sekaligus melemah.
Pulang, Yu. Aku pengin pulang.
Pet!
Mata Yu Jum dan Ros bertautan tepat saat neon box itu padam seterusnya. Seakan tanda usainya kehidupan di sebuah lekuk jalanan yang disesaki wisma-wisma penuh kembang yang wangi, yang tinggal menunggu hari untuk hilang. Menuju pulang.

***
Ros menutup map berkasnya sembari menghela napas. Setengah mati dia berusaha mengabaikan sorot mata dari ujung ruang tunggu. Padahal dia sudah berpakaian teramat sopan. Kemeja lengan panjang dan pantalon hitam. Pagi tadi dia malah menghabiskan setengah jam hanya untuk memutuskan apakah rambutnya diurai atau digelung. Mana yang terlihat tidak terlalu ‘mengundang’. Namun, lekuk tubuhnya tak bisa berbohong. Ditambah lagi, bisikan-bisikan tak sedap yang terus bertubi-tubi menghampirinya.
Mantan ‘itu’, ya?
Kelihatan, sih. Walau bajunya panjang begitu.
Ke sini mau ngapain?
Nyari dana katanya. Buat LSM tempatnya sekarang kerja.
Sekalian jualan?
Ngawur!
Sayang sekali, padahal cantik.
Jangan-jangan masih terima order.
Kalau sama aku, dia mau enggak, ya?
Wani piro kowe, Mas? Ha…ha…ha…
Hush!

Pagi tadi, sebelum Ros tiba di kantor institusi swasta yang konon mengajaknya meeting untuk penggalangan dana, Ros melewati gang itu. Ros menatap jalanan tak lagi sama ramainya, berkurang padatnya. Lokalisasi itu memang resmi ditutup. Gang yang dulu begitu hidup, yang menjadi pusat kehidupan Ros dan ibunya, kini mati. Kembang-kembang yang dulu tumbuh merekah, dicabut paksa kemudian mati. Atau tertatih-tatih mencari tanah, untuk kembali menancapkan akar di tanah lain yang masih sudi menerimanya.
“Mbak Ros ini mantan penghuni gang, ya?” tanya pimpinan kantor swasta itu dengan sorot menyelidik.
Tadinya Ros kira, begitu dia masuk ruang pimpinan, dia bebas dari tatapan menghakimi yang diperolehnya di ruang tunggu. Ternyata, lebih menyedihkan. Ros menggenggam tangannya erat-erat. Paham betul dia dengan tatapan itu.
“Sekarang kerja di LSM pemberdayaan perempuan?”
“Ya. Saya ditawari kerja di sana.”
“Kalau mantan penghuni lainnya, pada ke mana, Mbak?”
“Macam-macam. Ada yang pulang ke keluarganya, membuka usaha, pergi ke kota lain, dan ada juga yang meneruskan profesi lama di kota-kota lain.”
“Wah, percuma, dong, lokalisasinya ditutup.”
“Oleh karena itu, LSM kami membantu pemerintah mengedukasi mereka, terutama kesehatan seksual dan kemandirian ekonomi. Bantuan dana dari perusahaan Bapak tentu sangat berarti.”
“Angkanya besar juga, ya.” Pria itu mengalihkan pandangan dari berkas proposal ke arah Ros. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Bisa, dong, kita bahas ini di tempat yang lebih privat. Kamu tahulah maksud saya.”

Ros hafal betul itu. Raut wajah lelaki yang mencari persinggahan, bukan rumah untuk pulang. Dadanya memanas. Kembali menggelegak kenangan tentang ayahnya yang tak pernah ia tahu wajahnya, tentang ibunya yang mati pelan-pelan oleh kesedihan, tentang kembang-kembang lain yang dicerabut paksa tanpa bisa dicarikan tempat untuk tumbuh merekah indah, tanpa dipandang sebelah mata.

Dia perempuan. Mereka perempuan. Apa begitu sulit menjadikan perempuan sebagai rumah untuk pulang, bukan hanya sekadar tempat persinggahan. Bahkan, ketika Ros mencoba jalan yang berbeda, orang-orang di sekelilingnya terus kembali mendorongnya kembali ke taman yang sama. Taman yang mereka anggap cocok untuk kembang seperti dirinya.
Termasuk pesan pendek yang masuk tadi pagi. Dari Yu Jum.
Sudah ketemu ayahmu atau belum? Kujamin belum. Sudahlah, enggak usah mimpi-mimpi tentang Ayah atau hidup benar. Ayo, balik. Tak ada ayah, papi pun jadi. Telepon aku, nanti kukasih tahu alamat hotelnya.

“Bagaimana, Mbak Ros?” tanya lelaki itu sekali lagi.
Ros merasakan sekali lagi dadanya dipenuhi gunung es. Lebih besar. Makin kokoh. Dan entah kenapa, yang terbayang di matanya hanya pendar neon box sebuah merek bir yang sekarat, nyaris mati. Seperti dirinya.
Tanpa berkata apa-apa, ia menarik kembali berkas proposal, dengan sekali sentakan paksa. Wajah pimpinan itu memerah, nyaris meletus oleh penolakan Ros. Namun, Ros tak menoleh ke belakang. Sudah lama dia menyerah akan masa lalu yang bahkan lebih sulit dihapus ketimbang sebuah tato atau tanda lahir. Cap dari masyarakat berlaku selamanya. Dia tahu itu. Apa pun yang dia lakukan, mereka akan selalu memandangnya sama.
Maka, kalau Ros tak bisa menemukan rumahnya untuk pulang, biarlah dia yang membangunnya sendiri.


Popular Posts