(Cerpen Femina) Malaikat Kecil, Cerpen Lucy Liestiyo

Bangunan berlantai dua itu didominasi warna biru. Bentuknya memanjang dilengkapi sederet ruangan berkaca, menerbitkan kesan sebuah gedung sekolah. Rindang pepohonan besar yang berbaris di satu sisinya memberi keteduhan. Sedangkan di bagian depan, tanaman hias tampak sedap dipandang mata.

“Ya, ini tempatnya,” kata Heni, seraya memperlambat laju kendaraannya, memasuki jalan kecil yang ia duga merupakan jalan masuknya. Gambaran yang dilihatnya sama dengan arahan dari Mbak Asih via telepon dalam perjalanan tadi.

“Tepat Hen. Itu di depan tempat parkirnya,” kata Fia, yang mengalihkan pandang dari sepanjang dinding putih yang membentang persis di sebelah kiri jalan masuk. Warna yang familiar bagi suatu bangunan balai kesehatan.
Sekitar tujuh unit mobil berpelat nomor B terparkir rapi. Heni segera mengambil tempat paling ujung dan dengan mulus memarkirkan kendaraan di sana. Dia memang berencana melewatkan waktu cukup lama di sini dan tak ingin mengganggu akses keluar tamu lainnya.

“Yuk!” Disentuhnya pundak Fia setelah memasukkan tablet ke tas bahunya.
“Ya.” Fia turun dan mengikuti langkah lebar Heni menuju pintu belakang mobil, membantu menurunkan barang bawaan di bagasi. Empat buah tas plastik besar berisi pakaian anak-anak, mainan dan susu formula. Juga satu kantong plastik bertuliskan nama perusahaan bakery terkenal. Ide yang meluncur di pikiran Fia sekeluarnya kendaraan dari jalan bebas hambatan tadi, singgah sejenak di toko kue demi membawakan juga oleh-oleh bagi pengurus dan para penjaga.
Semilir angin menerpa wajah Fia. Dia melayangkan pandang ke sekeliling dan seketika merasakan ada kedamaian yang menyapa. Tawa ceria bocah-bocah kecil, lelaki dan perempuan, sontak mampir di telinganya. Rata-rata berusia 3 hingga 5 tahun dengan raut wajah menawan. Hidung mancung, alis tebal, kelopak mata besar serta tingkah yang ekspresif.

Sebagian besar berlarian menuju taman, mengikuti seorang wanita muda yang menurut perkiraan Fia adalah salah satu pengasuh. Ada pula yang tengah menaiki sepeda roda tiga berwarna merah, didorong teman sepermainannya. Lalu ada jeritan dan tangisan dari arah taman. Fia mengernyitkan kening.

“Itu biasa Bu, paling si Amir berebutan sepeda sama si Alif. Dua anak itu memang susah akur,” jelas pak penjaga, sambil membuatkan tanda terima atas donasi Fia dan Heni.
“Ramai sekali, Pak. Tiap hari seperti ini, ya?” tanya Heni.
“Umumnya Sabtu dan Minggu banyak yang berkunjung ke sini. Kalau hari ini memang kebetulan pengurus dari pusat ada meeting di sini,” jelas Pak Roni, nama penjaga itu.
“Mau langsung menengok anak-anak, Bu?” tanya Pak Roni.
Heni dan Fia saling berpandangan. Heni tahu mengenai tempat ini dari tayangan di stasiun televisi swasta dan karena lokasinya tak seberapa jauh dari Jakarta, dia menawari Fia ikut serta. Melampaui ekspektasi, Fia menyambut tawaran Heni dengan langsung mengajukan waktu akhir minggu kedua bulan Maret ini dan mencari info, apa saja yang sebaiknya mereka bawa.
“Kami mau ngobrol sebentar sama pengurus kalau boleh, baru nengok anak-anak.” Perkataan Heni disambut sapaan selamat siang oleh seorang wanita berpenampilan sederhana. Heni menoleh.
“Oh, kebetulan, ini Mbak Asih, dia yang paling lama bergabung dengan yayasan ini.”
Pak Roni bangkit dari duduknya dan memperkenalkan tamunya. Dari pintu ruangan yang terbuka, tiga orang bapak dan dua orang ibu keluar. Mbak Asih pun memperkenalkan Heni dan Fia kepada sejawatnya, yang ternyata baru saja usai rapat dengan  pengurus dari pusat.

Percakapan singkat pun mengalir di sela ketergesaan Pak Yos, yang merupakan penanggung jawab operasional  rumah penitipan anak ini, mengantar Pak Pras ke tempat parkir. Dari obrolan Heni dengan Mbak Asih, Fia tahu Pak Yos dan Mbak Asih terbilang orang lama di yayasan ini. Mbak Asih itu sudah ikut melayani jauh sebelum yayasan dapat menyediakan tempat yang amat layak sebagai kediaman sementara anak-anak ini. Jauh sebelum yayasan dapat menggaji para pengasuh bayi, Mbak Asih banyak berperan. Menangani administrasi sekaligus mengasuh  anak-anak dan buruh migran yang ditampung.
“Saya tinggal dulu, ya, Mbak Asih,” kata Fia, saat menyadari ujung blusnya ditarik-tarik dengan keras. Dia menengok ke bawah, mendapati seraut wajah jenaka berkulit putih bersih di sana. Gadis mungil itu tertawa, memamerkan deretan gigi susu yang tanggal satu, pasti kebanyakan makan yang manis-manis.
“Silakan. Wah, si Naf mau ajak main. Jarang, loh, dia begini sama tamu yang baru pertama datang,” kata Mbak Asih, seraya menepuk lembut pipi Naf.
Heni tersenyum dan memberi Fia isyarat agar membuat dirinya senyaman mungkin dengan mengacungkan ibu jari.

Naf menolak digendong, sebaliknya dia mengulurkan tangannya minta digandeng. Fia pun terpaksa berjalan membungkuk, pasrah mengikuti langkah si kecil jenaka itu ke taman. Dan, saat genggaman tangannya membungkus kepalan Naf, hati Fia bergetar hebat, mengalahkan goyangan ekor kuda pada rambut Naf yang terayun ke kanan kiri. Nyaris digigitnya bibirnya sendiri, menyadari konstannya getaran itu. Seolah jarum jam berhenti berdetak. Riuh rendah suasana di sekitar bagai terhalang masuk ke pendengarannya. Dibelainya rambut ikal Naf dan mata jernih Naf seakan menghipnotisnya.

Seberkas rindu berlabuh di bola mata itu. Rindu yang menggapai-gapai entah berapa lama, laksana jangkar yang hendak mengait ke sasaran. Fia mengeluh dalam hati. Dia tahu, itu serupa dengan rasa yang telah ditindasnya sekian lama. Sesal, kecewa, berbagai kesibukan dan kerja telah menggerusnya, melampaui keinginan untuk mengobatinya. Ah, ya, Fia takut. Takut gagal lagi.

“Mau adopsi, ya, Mbak?” Pertanyaan wanita berkacamata yang semula asyik bercanda bersama Zul dan Rafa yang konon sudah lima bulan menghuni rumah bercat biru ini, mengejutkan Fia.
“Oh, eh… enggak. Maksud saya, belum. Mbak sendiri?” Fia balik bertanya spontan, mengatasi gelagapannya. Mengapa kalimat tanya ini mengganggu sekali? Lambung Fia serasa ditohok. Nyeri dan mual berpadu.
“Saya Nia dan ini suami saya, Rio. Kami sudah 15 tahun menikah dan belum dikaruniai momongan. Tapi, semoga satu dua bulan lagi keinginan itu terpenuhi. Surat-suratnya sedang diproses semua,” jelas wanita berkacamata itu. Wajahnya berangsur semringah. Entah mengapa, Fia justru tertegun.

Lima belas tahun. Fia melihat sendiri, masih terasa kemesraan dan kekompakan Nia dan suaminya. Dengan lancar, keduanya bergantian bercerita proses adopsi yang sedang dijalani. Bayi bernama Iva itu telah lahir dan berusia dua bulan sekarang, lahir dari seorang buruh migran yang pernah bekerja di Timur Tengah. Nia pun bertutur, banyak sudah usaha yang dia dan suami lakukan untuk memperoleh buah hati, namun masih saja nihil. Salah seorang rekannyalah yang memberikan info mengenai tempat ini. Melalui proses panjang dan berliku, pasangan ini akhirnya boleh bernapas lega saat bertemu salah seorang buruh migran yang saat itu sedang hamil 4 bulan dan ditampung di sini.

Jelas Nia dan suaminya sering menengok kemari, bukan saja pada akhir pekan. Apalagi dua bulan terakhir ini, bertambah intens kunjungannya. Tak heran, Nia dan Rio dekat dengan anak-anak di sini. Nia bahkan punya segudang kisah di balik kelahiran para bayi dengan raut muka sangat tidak Indonesia itu. Tidak sedikit di antara mereka yang lahir ke dunia ini disebabkan sebuah tindak pelecehan sang majikan, malahan ada pula yang sudah berkali-kali mengalami penolakan oleh ibunya sendiri sejak berada dalam kandungan. Ada pula yang ditinggalkan begitu saja di bandara.

Sampai kalimat ini, Fia tercekat. Bagaimana mungkin seorang ibu tega berbuat begitu? Batinnya kelu. Namun, sebuah teguran halus menyentaknya. Apa bedanya dengan yang kamu lakukan? Tuduh suara yang terngiang di telinganya. Gemuruh di dadanya tak tertahan lagi. Anak. Anak menjadi begitu penting dalam kehidupan pernikahannya dengan Toni yang putra tunggal. Padahal, dia sendiri belum ingin kariernya meredup.

Gea yang lucu hadir di tahun keempat pernikahannya dengan Toni, disambut pesta besar yang diselenggarakan ibunda Toni. Tiga tahun Fia mengalah, meninggalkan total dunia pekerjaan untuk memenuhi permintaan Toni. Dan, saat ia kembali lagi meniti karier, ternyata jalannya tak semulus yang ia kira. Pengasuh anak yang dia pekerjakan lalai.

Gea kecil tenggelam di kolam renang rumah mereka dan pergi untuk selamanya.
Dunia seolah runtuh menimpa keluarga kecilnya. Dia hampir saja gila kalau saja tak ada dukungan keluarga dan teman dekatnya, termasuk Heni. Keluarga Toni? Bukannya menghibur, tapi  justru menyalahkannya. Perlahan hubungannya dengan Toni membeku.

 Makin hambar. Fia mencoba bangkit dan melanjutkan hidupnya, meski tahun-tahun berikutnya tiada perubahan berarti, selain ketidakjelasan ikatan pernikahannya dengan Toni yang lebih banyak menyibukkan diri dengan bisnis keluarganya. Toni kian jarang pulang ke rumah, kecuali menjelang akhir pekan, walau senantiasa mengabarinya.

Kepindahan ke apartemen tidak sepenuhnya mampu mengusir kesunyian yang lekat dengan rumah besar mereka, terlebih sepeninggal Gea.  Usaha keluarga besar Toni untuk menyimpan rapat-rapat kenyataan bahwa Toni akhirnya memiliki keturunan dari wanita lain yang sudah diusir sejauh mungkin dari kehidupannya, hanya berhasil pada awalnya.

Perceraian adalah tabu bagi nama baik keluarga terpandang itu. Namun, sebuah acara keluarga tahun lalu membuat rahasia Toni terkuak. Naluri Fia mengatakan, anak kecil yang diasuh ibu mertuanya dan diakui sebagai anak dari sepupu jauh Toni tak lain adalah anak tiri Fia. Mata, bibir, dan dahi lebar Toni terduplikasi sempurna pada bocah lelaki itu.
“Sudah ke atas, Mbak?” pertanyaan Nia mengusik lamunan Fia. Anis, Oddie dan Umar merubungi Nia, bergayutan manja dan merajuk minta difoto lantas tertawa ceria menunjuk-nunjuk hasil foto pada layar tablet Nia.

“Belum, rekan saya sedang ngobrol dengan salah satu pengurus,” sahut Fia.
“Aku sudah selesai, kok. Yuk, ke atas.” Tahu-tahu Heni muncul di belakang Fia, mengangguk pada Nia, menjabat tangan dan berbasa-basi sesaat, lalu mengajak Fia berlalu. Naf menarik tangan Fia.
“Oh, kamu mau ikut? Ayo.”
Kali ini Naf tak menolak digendong Fia. Rasanya nyaman sekali, ada   makhluk kecil yang menyandarkan kepala ke dadanya. Fia tak lagi melawan desir halus yang datang. Dinikmatinya dalam bisu.
“Dari tadi kamu ajak anak-anak itu ngobrol pakai bahasa Indonesia? Hmm... mereka cuma bisa bahasa Arab. Terutama yang baru datang beberapa bulan,” kata Heni bagai bergumam.
“Oh, ya? Tadi aku ngobrol sama salah satu yang mau adopsi, sih. Terus yang ajak anak-anak ini ngobrol siapa?” tanya Fia. Diperhatikannya langkahnya ketika menaiki tangga. Oh, oh, degup ini makin kencang di dada.
“Para buruh migran itu. Ada beberapa yang sedang ditampung di sini. Sedang mengandung. Biasanya keluarga mereka enggak tahu bahwa mereka sudah berada di Indonesia, apalagi membawa anak. Kebanyakan berusaha mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu kepada keluarga apa yang terjadi. Karena sebetulnya anak-anak itu berada di sini bukan untuk tujuan diadopsi, namun agar suatu saat dapat diterima keluarga buruh migran itu. Tapi, ada pula yang sengaja mengubur semua kenangan pahit dan tak akan membiarkan keluarganya tahu apa yang terjadi sampai kapan pun.

Kalau alasannya tepat dan memang sudah tak ada jalan lain, ya, anak-anak itulah yang kelak diizinkan untuk diadopsi. Prosesnya sangat ketat, enggak sembarangan. Uraian Heni terhenti di muka sebuah pintu bercat putih. Sampai sudah langkahnya di depan ruang anak-anak. Dia mengetuk dan pintu pun terbuka.
Fia terpana. Sekitar sepuluh boks bayi diatur merapat ke dinding. Ibu Ros, salah seorang pengasuh yang membukakan pintu tadi, pun menjadi teman ngobrol Heni. Dia menyapa Naf yang bergelung manja dalam pelukan Fia.

Mendekati deretan boks bayi, sejumlah kisah mengalir. Para bayi berusia antara satu bulan hingga dua tahun itu kebanyakan sudah punya orang tua angkat ataupun sudah siap kembali ke rumah orang tua kandungnya. Tidak semua berwajah Arab, ada juga yang berwajah India. Pada boks paling ujung, ada pemandangan tak biasa. Anak lelaki itu tidak tidur seperti yang lain. Dia asyik bermain sendiri. Usianya pun terlihat bukan kategori bayi lagi. Dan kakinya.... Fia ingin benar memalingkan muka. Tak tega dia melihatnya.
“Ini Malika, Mbak. Bisa dibilang dia paling senior di sini. Penghuni yang lain sudah berganti-ganti,” mendadak Pak Yos sudah berada di sampingnya. Seingatnya, beberapa saat lalu ketika dia tak sengaja menengok ke ruangan sebelah yang hanya berbatasan dinding tanpa pintu tadi Pak Yos asyik bercakap-cakap dengan beberapa buruh migran yang sedang hamil tua.

“Kakinya kenapa?” Fia tak dapat menyembunyikan penasarannya.
“Ya, itulah. Ibunya dengan bermacam cara berusaha menggugurkan dia. Tapi, keadaannya sekarang sudah jauh lebih baik. Ada donatur yang rutin menanggung terapinya. Lihat ini, kakinya sudah mulai normal. Waktu pertama kali kami temukan, dua kakinya itu seperti saling menjalin. Mungkin sebentar lagi kuat berdiri. Kami berharap  nantinya dia bisa mandiri. Eh, ini Naf, kok, kolokan amat sama tamu?” goda Pak Yos. Seorang ibu yang masuk sambil menggendong gadis kecil menjawil pipi Naf.
“Ibu Diana, gimana, Arsy rewel enggak di rumah?” tanya Pak Yos.
“Sudah mulai betah, Pak. Tapi memang harus sering-sering diajak ke sini dulu, ya, main sama teman-temannya.” Ibu yang dipanggil Diana itu mengangguk pada Fia.
“Semoga Naf juga begitu nanti. Cepat terbiasa dengan lingkungan barunya,” ibu yang tadi membuka pintu ikutan nimbrung.
Mata Fia membulat.

“Ya, Naf ini juga sebentar lagi selesai urusan surat-suratnya. Kalau lancar, bulan depan dia sudah bisa mulai menginap di rumah orang tua angkatnya,” kata Pak Yos.
Dan Fia merasa ada sesuatu yang terampas dari hatinya. Kehampaan menyergapnya lagi, melemparkannya ke sudut gelap tanpa tepi. Dan langkahnya terasa amat berat meninggalkan rumah bercat biru itu, bersama bayangan Naf yang menjerit-jerit tak mau ditinggalkan.

Popular Posts