(Cerpen Media Indonesia, 28 Juni 2015) Langgar Kiai Bahri, Cerpen Marsus Banjarbarat

ADA dua langgar tempat mengaji dan salat jemaah di kampung kami. Langgar Kiai Bahri dan Langgar Kiai Akbar. Nama langgar itu diambil dari nama pengasuhnya. Keduanya sama-sama memiliki santri yang banyak.Saking banyaknya, santri-santri yang mau mengaji sering terkantuk-kantuk menunggu giliran mengaji.

Ketika bulan Ramadan tiba, Langgar Kiai Bahri yang setiap malam selalu ramai tiba-tiba sepi, sedangkan Langgar Kiai Akbar ramai dan penuh oleh jemaah tarawih dan tadarus. Inilah yang selalu mengusik pikiran Kiai Bahri.

Malam pertama Ramadan, jemaah tarawih masih enam syaf di belakang Kiai Bahri. Malam kedua, jemaah berkurang jadi empat syaf. Malam ketiga dan seterusnya, terus berkurang menjadi satu hingga dua syaf. Lebih sering hanya satu syaf. Itu pun dipenuhi oleh orang-orang tua, yang tak lain merupakan kerabat Kiai Bahri sendiri. Meski ada juga anak muda, yakni anak dan menantu Kiai sendiri.

Mengapa di Langgar Kiai Bahri jemaahnya sangat sepi? Pertanyaan itu merayap di kepala setiap orang. Namun, belum ada jawaban pastinya. Suatu ketika Kiai Bahri memberi wejangan kepada jemaah tarawih;

“Setiap ibadah di bulan Ramadan, pahalanya dilipatgandakan Allah. Tapi coba lihat, orang-orang sekarang lebih senang melipatgandakan uang untuk persiapan Lebaran. Saya merasa bangga pada hadirin di majelis ini. Semoga Allah memberkahi kalian!”

Begitulah kata Kiai saat ia tahu bahwa langgarnya sepi dari orang-orang yang bertarawih. Ia mengira, langgarnya yang sepi itu karena orang-orang lebih senang bekerja malam mencari uang.

Memang, orang-orang di kampung kami yang biasa bekerja siang, seperti mengangkut garam di talangan, menjaring ikan, dan lain sebagainya, di bulan Ramadan jadwal kerjanya diganti sejak usai berbuka hingga menjelang sahur. Tapi, sebenarnya ada yang Kiai Bahri tidak tahu. Langgarnya sepi bukan semata-mata karena orang pergi bekerja, tapi karena mereka pindah salat tarawih ke Langgar Kiai Akbar.

“Pindah?” Kiai Bahri terkejut mendengar obrolan jemaahnya.

“Iya, Kiai, pindaaaah…” Kiai terdiam sejenak. Keningnya mengerut. Bola matanya merah membundar. Tanpa sengaja tatapannya membentur kotak amal di dekat mihrab.

Pikirannya terus berputar-putar. Ia bertanya-tanya, mengapa orang-orang pindah tarawih? Namun, pertanyaan itu tidak bisa ia tepis hanya dengan dugaan-dugaan yang tak jelas. Akhirnya, ia basa-basi bertanya kepada Mazzawi, menantunya. Kebetulan rumah Mazzawi berdampingan dengan Langgar Kiai Akbar.

“Apa benar orang-orang pada pindah tarawih ke Langgar Kiai Akbar?”

“Benar, Pak.”

“Kenapa?”

“Mungkin karena di sana tarawihnya cepat dan lekas selesai,” jawab Mazzawi ragu-ragu.

Mazzawi diam. Sebenarnya ia juga tidak tahu pasti mengapa orang-orang pindah tarawih ke Langgar Kiai Akbar. Tapi yang ia tahu, salat tarawih di Langgar Kiai Akbar katanya memang sangat cepat sehingga lekas selesai. Berbeda dengan langgar mertuanya, yang teramat pelan. Pelan sekali.

Kiai Bahri mengangguk-angguk mendengar penjelasan menantunya. Ada senyum kecut yang tumbuh dalam hatinya. Diliriknya lagi kotak amal itu. Baiklah, mulai besok malam salat tarawih akan kupercepat. Lebih cepat dari tarawih di Langgar Kiai Akbar, pikirnya dalam hati.

Dengan begitu, harapannya orang-orang akan pindah tarawih memenuhi langgarnya. Dan, yang paling penting, kotak amal itu, agar berisi penuh uang setelah diedarkan seusai tarawih. Ia lirik lagi kotak amal di sisi mihrab itu.

***

Kiai Bahri berdiri tegap di syaf paling depan. Hatinya berbunga-bunga karena malam itu salat tarawih akan ia ubah lebih cepat.

Suara iqomah telah berkumandang. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kepalanya tertunduk. Khusyuk. Dilantunkannya Surah Fatihah, disusul bacaan surah-surah pendek dengan cepat. Dalam hati, ia berharap agar jemaah tarawih kini bertambah beberapa syaf.

Saat ruku’ diam-diam ia melirik ke belakang, melihat jemaahnya. Seketika badannya terasa lemas, dua syaf jamaahnya belum bertambah. Mungkin besok malam mereka akan tarawih di sini, pikirnya. Lalu ia berdiri lagi melanjutkan tarawih dengan semangat yang lemas. Kotak amal kembali diliriknya.

Malam berikutnya, ada lima tetangganya yang datang ke langgarnya. Pasti mereka sudah tahu kalau salat tarawih di sini sudah cepat. Sesekali terbayang sejumlah uang yang akan mereka cemplungkan ke dalam kotak amal itu.

Kiai Bahri berdiri sebelum iqomah.Malam ini ia akan lebih mempercepat tarawih dengan menggunakan surat-surat paling pendek saja biar orang yang baru salat di langgarnya itu senang dan malam berikutnya akan datang lagi.

Lantunan Surah Fatihah, disusul bacaan surah-surah pendek dengan gerak begitu cepat, sampai-sampai jemaahnya tersengal-sengal mengejar Kiai Bahri. Di rakaat terakhir, diam-diam ia menoleh ke belakang, melihat jumlah jamaah. Ia terkejut, tubuhnya lemas, dadanya panas. Lima orang yang tadi datang ke langgarnya malah menghilang. Ia benar-benar terpukul melihat kenyataan itu.

***

Ia kembali bertanya pada menantunya. “Apakah salat tarawih di sini masih terlalu pelan?”

“Saya pikir tidak, Pak.”

“Lha, kok masih sepi yang tarawih di sini?”

Mazzawi diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, katanya, di Langgar Kiai Akbar, setiap selesai tarawih, jamaah selalu diberi sedekah: pisang, wajik, cocor, dan makanan-makanan ringan lainnya.

“Mungkin karena di Langgar Kiai Akbar selepas tarawih jamaah dikasih makanan, Pak.”

Kiai Bahri diam sejenak. Lantas, ia mengangguk-angguk. Dalam hati ia tersenyum kecut. Ia tak keberatan kalau hanya memberi makanan ringan semacam itu. Apalagi istrinya pintar soal makanan begitu. Ia tinggal membuatnya sendiri untuk dibagikan pada jemaah tarawih.

***

Azan isya berkumandang. Kiai Bahri dan para kerabatnya yang lain telah duduk bersila di dalam langgar. Tak berapa lama setelah iqomah, mereka berdiri untuk menunaikan salat isya berjemaah. Lalu, dilanjutkan dengan salat tarawih.

Kiai Bahri lagi-lagi tersenyum. Ia yakin, malam ini para jemaah di Langgar Kiai Akbar pasti pindah memenuhi syaf di langgarnya. Ia akan menambah kecepatan salatnya dengan mengambil surah-surah paling pendek, dan membacakan kalimat salat yang wajib-wajib saja.

Tarawih hampir selesai, Kiai Bahri menoleh perlahan sambil tersenyum, melihat seberapa banyak jemaah yang datang. Tiba-tiba wajahnya laksana malam yang pekat. Jemaah tarawih belum bertambah seorang pun. Besok malam tetap sama. Tak seorang pun yang datang. Bahkan yang rutin bertarawih di langgarnya kini telah menghilang, hingga yang tersisa hanya beberapa orang, yang tak lain ialah menantu dan anak-anaknya.

Kiai Bahri memejamkan matanya. Kepalanya terasa pening. Ia ingat kalau Ramadan tinggal menghitung jari. Sementara itu, jemaah di langgarnya masih saja sepi. Pikirannya terus berputar, mencari-cari cara agar orang-orang di kampungnya melaksanakan salat tarawih di langgarnya. Tak berselang lama, ia tersenyum. Ia ingat, dua hari lalu saat mengantar istrinya membeli pisang ke pasar, ia melihat sebuah langgar, dengan warna biru, dan dihiasi tulisan Arab di sekeliling dindingnya. Di ujung atas langgar itu ada dua speaker. Langgar itu benar-benar bagus dan menakjubkan.

Ia kembali mengulum senyum. Segera ia menyuruh menantunya untuk mengecat dan menghias dinding langgarnya dengan kaligrafi Arab. Juga, dipasang dua speaker di pojok depan dan belakang langgar. Dengan begitu, setiap menjelang magrib, Kiai Bahri bisa mengumumkan jadwal salat tarawih dan surat-surat pendek yang akan ia baca pada tarawih malam nanti. Lebih-lebih macam-macam makanan yang akan disuguhkan.

***

Kiai Bahri tersenyum-senyum melihat langgarnya yang cerah dan megah. Sesekali ia tak lupa melirik kotak amal dalam mihrab. Malam nanti, orang sekampung pasti datang ke sini, desisnya.

Lima menit lagi azan isya segera berkumandang. Kiai Bahri berdiri mematung di pintu langgar. Menunggu jemaah yang akan datang. Sesekali ia menoleh, melihat jauh ke jalan setapak, jalan ke arah langgarnya.Sepuluh menit berlalu, Kiai masih melempar pandang dengan penuh harap. Tapi, belum juga ada yang datang.

Dua puluh menit menunggu, masih belum ada tanda-tanda akan ada jemaah yang datang. Kiai Bahri gelisah. Pikirannya disergap macam-macam pertanyaan. Hanya ada menantu yang bisa ia ajak bicara.“Mengapa orang-orang belum juga datang?” Kiai bertanya.

Mazzawi tertunduk. Ia benar-benar bingung untuk menjawab. Kini yang ia tahu hanya desas-desus tetangga bahwa orang-orang tidak bisa khusyuk salat tarawih di langgar mertuanya. Seakan-akan ada makhluk aneh yang mengganggu. Makhluk yang sering muncul di atas kepala Kiai Bahri.

“Apa kau tidak mendengar, kenapa orang-orang belum juga datang?” wajah Kiai Bahri tampak emosi.

Mazzawi terdiam mematung. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan perihal kabar itu. (*)

2015 

Marsus Banjarbarat. Lahir di Sumenep, selain aktif menulis cerpen, kini ia sedang belajar di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Popular Posts