(Cerpen Koran Tempo) Biodata, Cerpen Zaim Rofiqi (Koran Tempo, 28 Juni 2015)

IA masuk ke dalam ruangan itu, lalu duduk di depan sebuah meja bundar, di sebelah kanan pintu tempat tadi ia masuk.

“Tunggu sebentar ya Pak,” kata orang yang mengantarkannya itu, lalu berjalan menuju sebuah ruangan dan berbicara dengan seorang petugas yang ada di dalamnya.

Tak lama kemudian seorang lelaki paruh baya menghampirinya. “Bisa baca tulis?” tanya petugas panti itu datar, matanya menatapnya tajam dengan sorot mata antara curiga dan kasihan.

“Bisa,” jawabnya pendek, tanpa membalas tatapan petugas itu. Dulu, ia sering merasa kesal dengan tatapan seperti itu, sebuah tatapan yang seolah menyepelekannya, atau merendahkan dirinya, atau mengasihaninya. Namun, kini ia tak lagi mempedulikannya.

Petugas itu menghilang sejenak ke dalam sebuah ruangan, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah map biru tua dan menyerahkannya kepadanya. “Mohon segera diisi, lalu taruh di keranjang kotak di depan ruangan itu,” kata petugas itu sambil menunjuk ruangan di sebelah kiri yang tadi dimasukinya.

Ia membuka map itu dan menemukan dua lembar kertas putih di dalamnya. Ia tercenung sejenak, sekilas membaca-baca berkas putih itu, lalu ia alihkan pandangannya ke sekeliling ruangan bercat putih yang sudah mulai memudar itu.

Di sebelah kanan tempat ia duduk, di bagian atas sebuah koridor yang tergelar menuju sebuah ruang tengah yang lebih besar, ia melihat sebuah papan biru bertuliskan: “Panti Jompo Asih Asuh.” Tulisan di papan kayu itu sedikit mengusiknya: Apakah ia sudah dianggap jompo hingga harus dibawa ke panti ini? Apakah orang-orang memang sudah menganggapnya demikian lemah dan uzur hingga harus dikasihani dan dibawa ke tempat yang sebenarnya tak ia sukai ini?

Untuk sesaat pikiran-pikiran itu mengisi kepalanya, namun dengan segera ia mengabaikannya. Jompo atau bukan, ia merasa dirinya masih sangat sehat, dan ingatannya akan hal-ihwal pun masih sangat kuat. Masalah utamanya hanyalah bahwa ia kini tak punya keluarga dan tempat tinggal, dan sering kali harus tidur di emperan toko atau taman atau di tempat-tempat lain yang ia anggap nyaman untuk melentangkan dan mengistirahatkan badan. Ia merasa tak pernah mengganggu orang lain dan ia juga ingin orang lain tidak mengganggunya.

Cukup lama ia tercenung di depan meja bundar itu. Dua lembar kertas formulir berwarna putih kekuningan yang sejak tadi menghampar di atas meja itu hanya ia tatap dengan pandangan kosong. Apa yang selanjutnya harus ia tulis? Setelah menulis nama lengkapnya di kolom nama lengkap, ia tak tahu apa yang harus ia tuliskan di kolom berikutnya: alamat.

Di mana alamatnya? Apakah ia punya sesuatu yang disebut alamat itu? Ia tahu ia tak akan bisa mengisi kolom kedua setelah kolom nama itu, namun kata “alamat” itu segera membuatnya tercenung. Entah sejak kapan ia sama sekali tak memedulikan apa yang disebut alamat itu. Mungkin sejak istrinya meninggal dan ia tak lagi punya pekerjaan tetap dan akhirnya ia tak lagi punya cukup biaya untuk punya atau menyewa tempat tinggal. Mungkin sejak kedua anaknya tak lagi menghubunginya dan ia juga tak berusaha mencari mereka—ia tahu, tak ada gunanya mencari mereka: masing-masing dari mereka bahkan tak bisa mencukupi diri atau keluarga mereka sendiri.

Di mana alamatnya? Ia memutuskan untuk mengosongi kolom itu, namun kata “alamat” masih saja membawa pikirannya sedikit mengembara. Hamparan demi hamparan lanskap muncul dalam kepalanya, hamparan-hamparan perkampungan atau perumahan yang pernah ia singgahi atau lama ia tempati semasa hidupnya, dulu:

Ia melihat sebuah perkampungan yang tak banyak dihuni rumah-rumah. Sebuah areal persawahan hijau menghampar di belakang perkampungan itu, dibatasi oleh sebuah tanah tanggul selebar satu setengah meter. Di tengah sebuah petak sawah, ayahnya tampak membungkuk, menancapkan bibit-bibit tanaman padi satu demi satu pada tanah gembur yang sudah dibajak. Ibunya ada di pinggir petak sawah itu, duduk di pematang menata bibit-bibit padi yang hendak ditanam. Ia sendiri—bersama teman-temannya—ada di depan sebuah rumah dari anyaman bambu, memainkan sebuah permainan yang sangat sering ia dan kawan-kawannya mainkan saat menjelang petang: gobak sodor.

Desa Krambil Barat. Itulah nama perkampungan itu. Di perkampungan itu, ia bisa dikatakan sama sekali tidak merasa cemas atau khawatir tentang hal-ihwal. Ia mengenal tiap-tiap jalan dan gang yang ada di sana, juga tiap-tiap penghuni yang mendiaminya: anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, juga para sesepuh. Dan ia juga merasa tiap-tiap penduduk desa itu mengenalnya dan juga keluarganya.

Perkampungan itu sendiri tidak begitu luas, dan ujung ke ujungnya bisa ditempuh hanya dalam waktu sekitar empat puluh lima hingga enam puluh menit atau satu jam. Sebelah barat perkampungan itu dibatasi oleh sebuah kali yang cukup besar, yang mengalir jernih membelah beberapa desa yang ada di kotanya, meskipun ia tak tahu ke mana sungai itu bermuara. Perbatasan sebelah timur adalah desa Krambil Timur. Sebuah areal persawahan yang sangat luas membatasi bagian utara perkampungan itu, sedangkan di sebelah selatan terdapat perkampungan Duren Mas, tempat lahir bapaknya dan tempat kakek neneknya berada.

Tak berapa lama, semua itu kemudian terkikis, dan perlahan ia melihat sebuah perumahan kumuh yang ada di pinggiran kota. Sebuah sungai mengalir di sampingnya, sebuah aliran air yang selalu berwarna coklat kehitaman sejak pertama kali ia datang. Di kedua tepian sungai itu, tumpukan sampah aneka benda berserak mengganggu pemandangan. Jika musim penghujan datang, serakan tumpukan sampah itu akan terbawa arus, terseret jauh entah ke mana. Jika kemarau, bau busuk menyeruak dari kedua tepian sungai itu, bau campuran sampah dan limbah pembuangan rumah-rumah para penghuninya.

Kamar keluarga anak pertamanya, tempat yang cukup lama ia tinggali setelah ia tak punya apa-apa lagi di kampung halamannya, ada di lantai tiga perumahan kumuh itu, di sudut kanan dekat sebuah tembok pembatas yang tingginya sepinggang orang dewasa. Jika berada di dekat tembok pembatas itu, orang bisa melihat sebuah lorong yang menuju ke sebuah tangga yang cukup besar yang menghubungkan lantai demi lantai yang ada di perumahan itu. Di kanan kiri lorong itu, berjajar kamar-kamar penghuni perumahan. Perempuan-perempuan dan anak-anak kecil yang tampak kurang gizi berkerumun dan bermain di sepanjang lorong itu, hingga sering kali menghalangi atau mengganggu orang lewat. Dari tembok pembatas itu, jika orang melihat ke bawah, akan tampak sungai coklat yang mengalir perlahan, menguarkan bau tak sedap yang samar-samar tercium juga dari lantai teratas perumahan itu. Mulanya, ia merasa agak terganggu dengan bau itu, terutama saat hendak makan atau menjelang tidur. Namun lama-kelamaan ia mulai terbiasa dengan aroma tak sedap sungai itu dan akhirnya bisa mengabaikannya.

Tak lama berselang, ia kemudian melihat hamparan kota tak begitu besar yang hampir tiap-tiap sudutnya sudah sangat dikenalnya dan pernah ia jelajahi, sendirian atau bersama kawan atau kenalannya. Di kota itu jalan-jalan raya dan jalan kecil terhampar saling-silang, acak, tampak tak beraturan. Penghuninya, yang sangat banyak atau bahkan bisa dibilang terlalu padat untuk kota itu, menurut pandangannya adalah makhluk-makhluk yang kurang bahagia, atau kurang bisa menikmati kehidupan di kota itu. Tiap hari yang ia temui adalah orang-orang dengan tatapan yang murung atau sedih atau kuyu atau penuh amarah. Ia melihat hamparan pasar, deretan pertokoan, lapangan, terminal, tempat-tempat parkir, juga taman-taman kota. Ia dan kawan-kawannya biasa tinggal atau tidur untuk beberapa hari di tempat-tempat itu, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menghindari perhatian orang atau kejaran petugas yang seperti selalu menguntitnya dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

Sejenak ada dorongan untuk mengisi kolom alamat itu dengan desa kelahirannya, Desa Krambil Barat, namun akhirnya ia mengurungkannya: desa itu memang sudah tak ada sangkut-pautnya lagi dengan dirinya—ia tak lagi punya rumah, tanah, saudara atau keluarga di sana, dan ia menduga desa itu pun sudah melupakan dirinya.

Setelah mengisi kolom jenis kelamin dan agama dengan cepat, ia mengalihkan perhatiannya pada kolom berikutnya: tempat dan tanggal lahir. Ia menuliskan desa kelahirannya, Desa Krambil Barat, di atas kertas itu sebagai tempat lahirnya, namun kembali tercenung saat akan menerakan tanggal lahirnya: kapan ia lahir? Ia mencoba mengingat, namun gagal. Ia yakin, sangat yakin, bahwa ia pertama kali melihat dunia ini di Desa Krambil Barat, tempat ayah ibunya menetap hingga akhir hayat mereka. Tapi kapan? Sudah cukup lama ia lupa tanggal dan tahun lahirnya sendiri. Ia hanya ingat bahwa ia lahir pada bulan November. Kartu Tanda Penduduk lama tak ia miliki, dan ia pun sudah tak pernah dan tak ingin lagi mengurusnya. Kartu-kartu keterangan lain pun tak ia punyai.

Kapan ia dilahirkan? Ia ingat, orang pertama yang bercerita tentang kelahirannya adalah ibunya. Saat itu menjelang tengah malam, dan ia melihat mata ibunya tak juga bisa terpejam. Ibunya kemudian membuka jendela kamar dan di luar, hujan yang cukup deras mengguyur pekarangan samping rumahnya. Ibunya kembali ke ranjang, dan sambil memandang ke jendela, dia bercerita bahwa pada saat seperti inilah ia dilahirkan. Ibunya bilang bahwa dari ketiga saudaranya, hanya ia yang lahir di musim hujan, beberapa saat menjelang adzan subuh. Saat itu, kata ibunya, hujan turun begitu lebat dan petir terus-menerus berkelebat-kelebat, namun tangisnya yang sangat keras saat pertama kali melihat dunia ini untuk sesaat membungkam semua suara gemuruh itu.

Karena tak juga teringat tanggal dan tahun pasti kelahirannya, akhirnya ia pun memutuskan untuk asal saja mengisi kolom itu. Ia memutuskan untuk lahir pada 1 November 1940. Sekarang umurnya berarti sekitar 75 tahun. Sudah cukup tua memang, pikirnya, namun ia merasa masih begitu sehat dan kuat, dan merasa jauh lebih muda dari usia itu.

Ia mengalihkan pandangannya dari kertas formulir itu dan menatap ke sekeliling:  di balik pintu kayu berukir yang terbuka ia melihat sebuah lorong yang mengarah pada deretan kamar yang tertata rapi membentuk huruf U. Ia melihat beberapa lelaki dan perempuan renta, mungkin seusia atau lebih tua dari dirinya, duduk-duduk di teras atau berjalan tertatih di sebuah koridor menuju ke sebuah lapangan terbuka yang tak begitu besar.

Sekelebat pikiran masuk ke dalam kepalanya: mulai hari ini dan mungkin seterusnya, ia akan berada di tempat ini, bersama orang-orang lanjut usia yang ada di hadapannya itu dan bersama petugas-petugas seperti yang tadi ditemuinya. Bagaimana hidupnya untuk selanjutnya jika ia sudah tak bisa lagi berjalan-jalan di jalanan dengan bebas? Bagaimana keadaannya jika ia sudah tidak lagi bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesukanya? Bagaimana keadaannya jika ia sudah tidak lagi bisa bertemu atau bercakap-cakap dengan berbagai jenis orang, tua atau muda, baik atau jahat? Apakah ia akan betah berada dalam waktu lama di panti ini, di sebuah tempat di mana setiap hari yang ditemuinya adalah orang-orang yang berusia kurang lebih seperti dirinya atau lebih, sebagian mungkin sudah pikun dan sebagian yang lain mungkin sudah tidak punya semangat untuk hidup?

Ia menghembuskan nafas yang seperti tertahan di dadanya, lalu kembali memusatkan perhatian pada kertas formulir di hadapannya. Seorang petugas perempuan dalam pakaian serba putih lewat, mendorong sebuah ranjang beroda berwarna hijau. Di atasnya terbujur sesosok orang yang seluruhnya tertutupi selimut putih. Tak ada orang lain yang mengikuti atau menyertainya, dan orang-orang yang kebetulan dilewati oleh keranjang itu hanya menoleh sejenak, lalu mengacuhkannya dan meneruskan aktivitasnya sendiri-sendiri, seolah-olah apa yang ada di atas ranjang yang didorong petugas itu adalah hal yang sudah sangat lazim dan tidak begitu penting.

Untuk sesaat ia mengamati ranjang beroda itu dan sebersit pikiran muncul dalam kepalanya: mungkin akan seperti itulah dirinya kelak jika terus di tempat ini. Ia akan terbaring dingin di atas ranjang, akan dibawa seorang petugas entah ke mana sebelum nantinya dikuburkan di suatu tempat entah di mana, mungkin tanpa seorang pun yang peduli, atau bersedih, atau meratap dan menangis di samping mayatnya. Kembali ia memusatkan perhatian pada kertas di hadapannya: kolom berikutnya yang harus ia isi adalah status.

Bagaimana ia harus mengisi kolom ini? Ia tercenung sejenak, mengingat-ingat berbagai macam status yang pernah melekat pada dirinya. Ia pernah memiliki status sebagai seorang siswa, meskipun hanya sampai kelas 5 SD. Ya, sejak umurnya 7 tahun, ibunya menyekolahkannya di sebuah SD di ujung utara kampungnya, di sudut sebuah persawahan yang biasa didatangi orang-orang di kampungnya yang umumnya bekerja sebagai petani.

Ia pernah berstatus sebagai seorang kuli bangunan. Ya, tak lama setelah ia keluar dari SD ia diajak pamannya untuk membantunya bekerja: membuat rumah, mengecat tembok, memperbaiki atap yang bocor, dan sebagainya. Ketika usianya 27 tahun, ia pernah menyandang status sebagai suami. Setelah itu, ia pindah ke kota dan di sana ia berstatus sebagai penjual ketoprak, meski sesekali status tukang bangunan masih juga disandangnya. Status terakhir yang ia sandang hingga sekarang, sejak istrinya meninggal dan ia tak lagi tinggal bersama, atau berhubungan dengan anaknya adalah gelandangan—ya, gelandangan: demikian ia biasa mendengar orang-orang menyebut seseorang yang biasa tinggal dan tidur di jalanan seperti dirinya.

Apakah ia harus mengisi kolom status itu dengan gelandangan? Karena merasa tak pantas untuk mengisi kolom status itu dengan kata “gelandangan” dan ia juga tak punya ide lain untuk mengisi kolom itu, akhirnya ia memutuskan untuk mengabaikan saja kolom itu.

Beberapa orang yang baru datang ke panti itu mengusik perhatiannya. Ia menoleh ke pintu masuk dan melihat seorang laki-laki seusia dirinya diturunkan dari sebuah mobil, lalu dinaikkan ke sebuah kursi roda dan didorong seorang perempuan didampingi seorang lelaki, mungkin suami si perempuan itu, pikirnya. Lelaki tua kurus di kursi roda itu tak bicara apa pun, dan dari raut wajahnya ia menduga bahwa lelaki itu sangat bersedih atau sangat lelah. Kerut-kerut di wajahnya begitu banyak, dan dari lengan dan lehernya ia tahu bahwa lelaki itu kurang banyak bergerak.

Perempuan itu menghentikan kursi roda itu di sebelah kirinya, hanya berjarak satu meja dari dirinya, lalu bersama lelaki muda itu dia berjalan menuju ruangan petugas. Ia menoleh ke lelaki tua itu dan mencoba mengajaknya bicara. “Akan tinggal di sini juga?” tanyanya pelan sambil berusaha menyunggingkan senyuman. Lelaki itu menoleh sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan ke ruangan petugas tempat perempuan yang tadi mendorong kursinya berada. “Masih punya keluarga dan akan tinggal di sini?” kembali ia bertanya, kali ini dengan sedikit penekanan pada kata keluarga. Lelaki itu masih saja diam, kali ini bahkan tanpa menolehkan kepala.

Merasa tak juga akan mendapatkan jawaban dari lelaki seusia dirinya itu, ia kemudian memusatkan perhatiannya kembali pada kertas-kertas di hadapannya. Setelah mengisi kolom pendidikan dengan cepat, ia memutuskan untuk menyudahi pengisian formulir itu. Ia merasa cukup. Tak banyak data diri yang bisa ia uraikan lagi. Ia berdiri lalu berjalan menuju ruangan petugas dan menaruh map biru itu di keranjang kotak sebagaimana yang tadi disarankan petugas yang tadi menyambutnya.

Karena tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, ia kembali lagi ke meja tempat tadi ia mengisi formulir, duduk, sambil terus mengamati hal-ihwal di sekitarnya. Di sebelah kirinya ia melihat lelaki tua seusia dirinya itu terkantuk-kantuk di kursi rodanya, sementara di sampingnya perempuan yang tadi mendorong kursinya tampak serius mengisi formulir dalam map biru seperti yang baru saja dilakukannya. Di sudut deretan kamar yang membentuk huruf U itu, ia melihat seorang perempuan renta yang tampak lebih tua dari dirinya duduk di sebuah kursi rotan di depan sebuah kamar, asyik menyulam sesuatu, sementara dua orang perempuan seusianya duduk di kiri kanannya sambil mempercakapkan sesuatu. Di sebelah kamar itu, seorang lelaki tua yang tampak lebih muda dari dirinya duduk melamun tanpa mengenakan baju, matanya menatap jauh ke depan pada entah apa. Sesekali ia mengalihkan pandangan pada ketiga perempuan renta yang asyik bercengkerama di samping kirinya, namun hal itu tampaknya tak begitu menarik perhatiannya, dan ia pun kemudian berdiri lalu berjalan menyusuri teras depan kamarnya, tampak bingung apa yang harus dilakukan.

Beberapa saat kemudian, seorang petugas perempuan menghampirinya, lalu memintanya untuk mengikutinya. Tanpa bertanya ini itu, ia pun menurut saja dan mengikuti perempuan itu berjalan menyusuri lorong yang mengarah pada deretan kamar berbentuk huruf U itu. Melewati kamar pertama yang terbuka, ia melihat seorang perempuan uzur telentang di atas sebuah ranjang, matanya melotot ke arah langit-langit kamar menatap entah apa. Pada kamar berikutnya ia melihat seorang wanita renta duduk di sebuah kursi di samping sebuah ranjang, sementara di atas ranjang itu seorang perempuan uzur yang lain telentang sambil berbicara entah apa. Di kamar yang lain ia melihat seorang lelaki yang praktis hanya tulang terbungkus kulit duduk di samping kiri pintu kamarnya, membuka-buka sebuah majalah lama yang tampak tak bagitu menarik perhatiannya. Ia melemparkan senyum ke lelaki jerangkong itu, namun lelaki itu tampaknya tak tertarik untuk membalas senyumnya.

Ketika sampai di sebuah kamar kecil di ujung deretan berbentuk huruf U itu, petugas perempuan itu berhenti, membuka pintu kamar, lalu berkata “Silakan masuk, Pak. Untuk sementara, ini kamar Anda.” Sekilas ia menatap mata petugas perempuan itu sambil berkata pelan, “Terimakasih.” Petugas itu mengangguk dan tersenyum, lalu menyerahkan sebuah kunci kepadanya dan berbalik, berlalu dari hadapannya.

Ia membuka pintu kamarnya dan udara lembab segera menyergapnya. Sejenak ia mengamat-amati apa saja yang ada di ruangan itu. Sebuah dipan kayu yang hanya cukup untuk ditempati satu orang terhampar di sebelah kanannya. Sebuah kursi dan meja rotan ada di samping dipan itu, di samping sebuah lemari kayu coklat yang berdebu. Sebuah jendela yang tak begitu besar ada di dinding di belakang dipan itu. Ia berjalan mendekati jendela itu, lalu membukanya. Sinar matahari senja segera menghantam wajah dan dadanya. Di hadapannya, terhampar sebuah kebun yang tak begitu luas. Pepohon pisang, pepaya, dan mangga tumbuh di dalamnya. Sebuah pagar bambu membatasi kebun itu dengan jalanan beraspal di sebelahnya. Sebuah jalan yang mungkin akan membawanya menuju jalan-jalan lain menuju jalanan kota—sebuah tempat yang sudah sangat dikenalnya, sebuah tempat yang lama, sangat lama, menjadi tempat tinggalnya. (*)

Jakarta, 2015

Zaim Rofiqi menulis cerpen, esai, dan menerjemahkan buku. Buku kumpulan cerpennya, Matinya Seorang Atheis (Koekoesan, 2011); kumpulan puisi terbarunya berjudul Seperti Mencintaimu (Q Publisher, 2014).

Popular Posts